KISAH NYATA INI DIALAMI OLEH ERNA, SAYA MENUTURKAN CERITA INI DALAM BENTUK "AKU". DAN NAMA-NAMA YANG TERKAIT DIDALAM KISAH INI ADALAH NAMA ASLI. SEBAGAIMANA SAYA MEMPERTAJAMKAN KISAH INI DENGAN TUJUAN AGAR PEMBACA BISA IKUT MERASAKAN HOROR NYA KISAH NYATA INI..! MARI KITA SIMAK KISAH SELENGKAPNYA DIBAWAH INI…!
Bagiku tidak ada hantu di dunia ini. Kalau pun ada, hantu tidak akan menampakkan diri. secara nalar, hantu tak akan bisa terlihat oleh manusia. Karena dia memang makhluk Nonmaterial. berangkat dari keyakinan ini, maka aku tidak punya rasa takut sedikit pun ketika memutuskan untuk membeli Villa kenanga yang terletak di sebuah desa di kawasan, Cisarua, Jawa Barat. Dan pemilik Villa adalah Hamid Ashari.
Villa yang dibangun abad 19 akhir ini digambarkan sebagai warisan pemerintahan kolonial belanda. Pada 1909, Richard William Hoower menempati Villa ini karena jabatannya sebagai Direktur Perkebunan teh N.V Hermisz Ozette, satu perusahaan perkebunan milik kolonial yang sangat berpengaruh di zaman itu. Villa yang berukuran besar itu berada diatas ketinggian 1900 meter dari permukaan laut.
Tanah Villa itu hingga saat kubeli, seluas dua hektar dengan tanaman kenanga dan lengkeng di sekelilingnya… Lengkeng dan kenanga itu secara rutin berbuah dan dimanfaatkan oleh kang Abas, perawat Villa sebagai mata pencarian sampingan.
Kang Abas sudah berkerja di Villa itu sejak dia berusia 10 tahun. Kini kang Abas sudah berusia 78 tahun dan masih tetap setia menjaga Villa itu. Pak Hamid Ashari menceritakan bahwa kang Abas itu adalah seorang yang menguasai ilmu keparanormalan secara turun temurun.
Ayah dan kakeknya sangat dikenal di daerah Cisarua sebagai ahli pengobatan tradisional dan punya daya Linuwih. Begitupun dia. Oleh karena itu, Pak Hamid menyarankan agar aku tetap memperkerjakan kang Abas di Villa yang baru kubeli itu. "Selain merawat Villa, kang Abas juga merawat seluruh tanaman yang ada dan akan memberikan sebagian hasilnya kepada pemilik Villa!" desis Pak Hamid.
Sesuai saran Pak Hamid, sebagai pemilik baru Villa itu, aku menyutujuinya. Kang Abas kami panggil ke ruang tamu dan membicarakan tentang niat kami itu. Kang Abas nampaknya sangat senang keputusan itu dan dia berjanji akan merawat Villa dan kebun kami dengan baik.
Bahkan aku meminta Kang Abas membuka lahan baru untuk tanaman jeruk Siam yang bibitnya sudah kami miliki di rumah kami di Pejaten, Jakarta Selatan. Kang Abas berjanji akan merawat jeruk hingga berbuah lebat. "Saya punya pengalaman cukup bertanam jeruk!" kata Kang Abas, sambil mengambarkan bahwa dia sempat belajar petanian jeruk di Tebinggerinting Ogan Ilir, Sumatera Selatan selama tiga bulan.
Kang Abas ternyata tidak sendirian kerja di Villa kenanga. Lelaki tua tapi tetap kelihatan segar itu dibantu oleh tiga anak dan dua orang menantunya. Setiap hari secara bergiliran mereka membersihkan Villa dan mengangkat rumput di perkebunan Villa kenanga.
Pada senja hari tanggal 19 April 2001, Ujang, 41 tahun, menantu kang Abas mengantarkan saya keluar Villa menuju mobil. Ujang membawakan mesin Jetpump yang rusak dan akan kami betulkan di Jakarta. Sebelum mobil Nissan Terrano aku hidupkan, Ujang memberanikan diri bicara kepadaku. “Ibu, boleh saya menginformasikan sesuatu?” tanya ujang sangat santun. Setelah terkesima sedikit, aku pun memperbolehkan Ujang bicara.
Dengan agak gugup sedikit menantu kang Abas itu menyebut bahwa apakah aku telah tahu banyak menyangkut Villa ini. "Tahu tentang apa, Ujang?" tanya Ku penasaran. "Maaf Bu, ibu bukan seorang yang penakut terhadap hal-hal yang ganjil kan?" Tanya lagi. Setelah kujawab tidak takut, Ujang pun menceritakan bahwa Villa kenanga itu terkenal sangat Angker dan mengerikan bagi warga Cisarua.
Sebab, telah ratusan kali terjadi penampakan makhluk gaib yang ditemui warga. Bahkan ada salah seorang warga yang sampai meninggal mendadak karena ketakutan. Wafatnya warga bernama Sakinah itu, kata Ujang, memang bukan karena dicekik atau dianiaya oleh makhluk gaib itu.
Tapi meninggal setelah kaget dan ketakutan melihat hantu tanpa kepala yang keluar dari halaman Villa. "Hantu tanpa kepala keluar dari halaman Villa?" desakku, makin penasaran. "Iya bu, hantu tanpa kepala itu adalah hantu penghuni Villa milik ibu ini, yang muncul setiap kali bulan purnama ke 14. Yaitu disaat bulan sangat terang dan besar di atas Cisarua ini!" katanya.
Aku tertawa terpingkal mendengar cerita Ujang itu. Jujur saja, batinku sangat geli ketika siapapun mengambarkan makhluk gaib yang menampakkan diri, termasuk cerita Ujang itu. Sebab, aku sangat tidak percaya adanya hantu. Apalagi bila dikatakan bahwa hantu itu maujud dan memperlihatkan rupanya kepada manusia yang hidup.
Sebagai pemeluk agama yang kuat, aku percaya bahwa adanya makhluk halus seperti malaikat atau jin. Alkitab yang kami percayai memang menyebutkan bahwa adanya makhluk halus seperti itu, termasuk iblis yang juga tak pernah terlihat oleh mata telanjang. Untuk hantu yang terlihat, aku sangat tidak percaya dan sangat tidak yakin bahwa hal itu bisa terjadi.
Maka itu, ketika melihat aku terpingkal, Ujang jadi terlihat malu dan menundukkan kepalanya. "Ujang, mana ada hantu menampakkan diri, apalagi hantu berkepala buntung. He..he..he! Ada-ada saja kamu ini Ujang!" candaku.
Mendengar ucapanku itu, Ujang terdiam dan dia tidak lagi melanjutkan ocehannya. "Maaf Bu, saya barangkali telah melakukan sesuatu kesalahan terhadap ibu. Maksud saya bukan untuk menakut-nakuti ibu, tapi ingin agar ibu tidak kaget bila selama tinggal di Villa ini ada hal yang aneh-aneh!" tukas Ujang, lirih.
Kukatakan pada Ujang bahwa aku tidak terpengaruh dengan ceritanya itu sama sekali. Bahkan kukatakan pada Ujang, bahwa aku bukan cuma tidak takut, tapi aku sangat tidak yakin bahwa makhluk itu ada dan sering menampakkan diri. Maka itu aku sangat berani tinggal disitu bermalam-malam.
"Bahwa ada orang yang melihat sesuatu yang aneh, orang yang melihat itu pastilah halusinasi. Melihat daun pisang bergoyang, eh..dikira hantu! begitulah Ujang kira-kira!" ucapku pada Ujang, yang akhirnya aku menStarter mobil dan melesat ke turunan 80 derajat di depan Villa. Akupun pulang ke Jakarta.
Sebelum Mas Amir, suamiku, meninggal, aku memang sangat mandiri dan kelaki-lakian. Orang-orang bilang bahwa aku adalah wanita baja yang kuat dengan hati bagaikan batu. Karena punya otot yang kuat dan jauh dari sikap cengeng sebagai umumnya ibu rumah tangga. Maka itu, dua anak perempuanku, Elia dan Marie ikutan seperti aku.
Mereka perempuan sejati berhati keras dengan otot kawat dan tulang besi. Mas Amir ketika masih hidup sering ngeledek. "Tuh, anak Samson ikutan jadi Samson, persis kayak ibunya, seperti laki-laki!" olok Mas Amir. Sejak kematian Mas Amir pada tanggal 9 Januari 1990, aku tidak menikah hingga sekarang.
Dua anakku menyarankan aku agar nikah lagi, tapi aku tidak peduli. Pikirku, bila aku sanggup hidup sendirian, kenapa harus mencari-cari pasangan agar hidup berdua? tidak, aku tidak berfikir soal pernikahan dan tidak ingin seranjang dengan laki-laki.
Perusahaan pertambangan batubara di Kalimantan Timur milik Mas Amir, aku kelolakan sendirian dan hasilnya germilang. Usaha itu bukan saja berjalan lancar, tapi malah lebih maju dibanding saat dikelola almarhum. Bahkan perusahaan pertambangan kami makin melebar ke Seantaro Negeri.
Kalau tadinya hanya ada di Kaltim, kini kami punya pula lokasi pertambangan baru di Kalimantan Selatan dan Sumatera Selatan. Oleh karena kesuksesanku mengelola usaha peninggalan suami ku, maka beberapa kali aku mendapatkan Award sebagai wanita pengusaha sukses dan dimuat di majalah Fortune edisi Hongkong.
Tanggal 30 April kami bertiga ke Villa. Elia dan Marie kebetulan libur kuliah dan mereka mau nginap di Villa yang baru kami beli. Karena banyak teman-temannya mau ikut, maka kuperbolehkan Elia dan Marie mengajak teman-temannya.
Tapi dengan syarat, kataku, semua teman yang diajak hanya wanita. Tidak boleh ada satupun laki-laki yang turut serta. Karena memang teman mereka banyak wanita, maka tidak ada satupun laki-laki yang diajak, kecuali seorang waria, Irwansyah yang gemulai dan feminine.
Dengan lima kendaraan, kami berangkat beriringan dari Pejaten, Jakarta Selatan menuju Puncak, Jawa Barat. Elia dan Marie memilih mobil lain, sedangkan aku menyetir sendirian membawa mobil Nissan Terrano, "Hati-hati Ma, kalau lihat cowok ganteng di pinggir jalan, jangan sampai melotot ke pinggir, lalu di depan nabrak becak ya?" canda Elia.
Memang anakku satu itu selalu menggoda aku soal cowok, padahal aku tidak pernah tertarik satupun laki-laki selain Mas Amir, suamiku dan ayah mereka yang sudah tiada.
Pukul 11:30 menjelang tengah hari, kami semua sudah sampai di Villa. Lima mobil diparkir berjejer dan kami membawa perlengkapan masuk. Hari itu aku memerintahkan semua teman-teman Elia dan Marie termasuk mereka untuk bahu membahu memasak. Ikan, daging serta sayuran dan beras telah tersedia lengkap di jip Terrano yang aku stir.
Kompor gas semua penuh dan kami siap memasak untuk santap siang. Pukul 13:50 kami makan siang. Semua bersemangat karena perut sudah pada keroncongan. Semua gadis-gadis termasuk Irwansyah sangat lahap makan dengan sambal dan lalapan khas. kang Abas dan anak mantunya kami sediakan makanan di tempat yang lain. Mereka juga makan bareng dengan kami walau tidak semeja.
Habis makan, Ella, 24 tahun, anak Duta Besar RI di Argentina, teman kuliah Marie main piano. Piano merek Hansneil buatan Austria itu aku kirim ke Villa setelah aku beli di Bursa Alat Musik Melawai, Blok M. Aku dan Mas Amir memang senang piano, walau kami berdua tidak bisa memainkannya. Di rumah, bahkan ada tiga piano beragam merek, jadi koleksi aku sejak masih gadis.
Karena suara piano dan semua bernyanyi, Villa kami jadi semarak. Habis bernyanyi-nyanyi rombongan main di kolam renang. Dalam cuaca yang dingin itu, mereka berenang memakai bikini. Walau disitu ada anak mantu kang Abas, mereka cuek saja, bercanda gila-gilaan di kolam. Bahkan kang Abas menghindari wilayah kolam dan pulang ke rumahnya di sebelah pagar Villa.
Selepas makan malam, anak-anak bernyanyi lagi. Mereka juga menyalakan api tungku sebagai pemanas udara yang sangat dingin. Sementara anak mantu kang Abas, semuanya pulang ke rumah masing-masing. Pukul 24:00, semua masuk ke kamar tidur.
Sedangkan aku, yang mengambil kamar balkon, tidur sendirian, tak dapat memajamkan mata. Entah kenapa, malam jumat pon yang sedang bulan purnama 14 itu, mataku tak dapat terpejam. Bayanganku jauh menerawang ke sosok Mas Amir, mengenang saat-saat kami berbulan madu di Puncak dan Bali.
Tidak terasa, jam dimeja sofa menunjukkan angka 01:03 dinihari. Tapi walau sudah menjelang pagi, mataku tak bisa terpejam juga. Sementara suasana sangat hening dan sepi menyelimuti malam di Villa kami. Dengan langkah malas-malasan, aku berjalan menuju jendela. Kubuka daun jendela dan kulongokkan pandangan ke luar. pemandangan luar malam itu begitu indah.
Bulan purnama 14 itu makin terlihat indah ketika semburan sinarnya menjilat dedaunan kapuk di sebelah Villa. Sementara udara malam begitu dingin. Rasa dingin itu terasa merasuk ke tulang belulangku dan mencubit-cubit. "Oh Tuhan, malam yang indah tapi malam yang sangat dingin hari ini," desakku.
Dari balik pohon kapuk, aku melihat sesuatu pemandangan yang agak aneh. Di situ aku melihat seorang berdiri dengan sosok serba hitam. Tak salah lagi, pikirku, sosok itu adalah manusia dan dia sedang memandang kepadaku. Dengan suara agak parau karena terlalu malam, aku memanggil.
"kang Abas? kang Abas kah itu?" tanyaku. Sosok hitam itu tidak bergeming. Dia tetap berdiri di bawah pohon kapuk dan menatapku. "kang Abas?" desakku. Dalam hitungan beberapa detik setelah aku memanggil, sosok itu tiba-tiba hilang bagaikan spiritus dilalap api. "Ah, ke mana orang itu?" batinku.
Ada perasaan gundah bergelantung di balik kalbuku. Ada sembilu tipis menyayat relung batinku. Betulkah cerita Ujang itu benar-benar terjadi? Atau betulkah sosok itu adalah hantu yang pernah dilihat oleh banyak warga? Ah, mana mungkin ada hantu, mana mungkin makhluk halus bisa menampakkan diri, pikirku. Tapi sosok itu bukanlah manusia biasa. Mana mungkin seseorang manusia bisa menghilang dalam hitungan detik. Sementara mataku terus mengarah padanya tanpa kedip.
Pada saat aku berpikir tentang apa yang baru saja kulihat, jantungku dikejutkan oleh suara teriakan Irwansyah dari kamar bawah. "Tolong, tolong, tolong!!!" teriak waria itu sangat keras. Belum sempat menutup jendela, aku menghambur ke bawah. Kulihat Irwansyah pucat pasih ketakutan. Irwansyah langsung memelukku dengan tubuh bergetar.
"Hantu, hantu tante, ada hantu dikamar saya!" pekiknya. "Apa? kamu mimpi Irwan, mana ada hantu di kamar itu. Mana ada hantu menampakkan diri?" kataku. "Lihat, lihat lah Tante, hantu itu masih dalam kamar!" ujarnya. "Mari ikut Tante, mana ada hantu di kamar ini, ayo, ikut Tante!" ajakku, sambil menarik tangannya. Tapi Irwan ogah! Dia melepaskan tangannya karena takut masuk ke kamar itu lagi.
Lalu aku sendiri yang masuk ke kamar. Tanpa rasa takut sedikitpun aku melangkahkan kaki dengan pasti mendekati pintu. Di dekat kaca rias, berdiri seorang bertubuh tinggi besar tanpa kepala. Sosok pria itu pastilah bukan manusia biasa.
Lampu kamar menyala terang dan dengan jelas aku melihat sosok pria memakai mantel warna hitam itu. Sementara di tangan kanannya terlihat jelas pula, kepala manusia dengan kusuran darah dan daging yang meleleh. Dua bola mata keluar, tercabut dari pangkal tempatnya.
"Oh Tuhan!" pekikku. Tapi aku masih mengucek-ucek mata dan mencubit pipiku. Benarkah aku sadar, bukankah aku sedang bermimpi? Atau sedang mengigaukah aku. Atau sedang berhalusinasikah aku. Tidak! Aku ternyata sadar dan tidak bermimpi. Ya, aku sedang berhadapan dengan hantu yang tak kupercayai dari cerita Ujang itu. Ujang benar, Ujang betul dan tidak membual. Hantu itu benar ada dan bisa menampakkan diri dan menakut-nakuti manusia yang hidup.
Elia, Marie dan enam temannya semua terbangun. Pagi dinihari itu mereka semua melihat sosok pria memegang kepala dan muka tercobek-cabik itu. Herlina dan Endine, terjatuh ke lantai dan pingsan setelah melihat pemandangan mengerikan itu.
Dalam hitungan detik setelah beberapa orang tumbang, makhluk itu menghilang entah kemana. Aku berteriak keras memanggil kang Abas di sebelah pagar Villa, tapi kang Abas dan anak mantunya tidak mendengarkan suara kami.
Hingga pagi hari semua tak dapat tidur. Semua berkumpul di ruang tamu dan berpelukan dengan ketakutan. Teror itu tidak sampai disini saja, tak lama kemudian, piano berbunyi sendiri memainkan lagu In Fancy Sezoprano. Semua mata kami serempak ke arah piano. Tak ada satupun manusia yang terlihat sedang memainkan alat musik itu. Kami makin ketakutan. Semua menutup dan berpelukan di permadani sambil menangis.
Suara piano itu makin lama makin keras dan mataku penasaran melihat lokasi itu. Kulihat dengan jelas sosok pria tanpa kepala itu duduk di bangku piano dan satu tangannya tetap memegang kepalanya yang terpotong. Aku kembali menutup mataku dan memeluk dua anakku dan teman-temannya.
Jujur saja, baru kali inilah aku takut. Ya, benar, kali ini pula aku gentar terhadap lingkungan. Kesombonganku yang selama ini kokoh, hancur lebur malam itu oleh makhluk aneh dan ajaib yang disebut hantu tanpa kepala itu.
Saat ayam berkokok, kami dikejutkan lagi oleh suara yang lain. Hantu tanpa kepala itu berbunyi ngorok seperti bunyi suara singa terluka. Batinku makin miris, nyaliku semakin ciut. Sementara jantung terus berdebar seakan detak lonceng kematian bertanda akhir hayat.
Matilah kami, matilah kami beramai-ramai pagi ini! Suara batinku berguncang. Saat matahari yang sinarnya terlihat masuk di balik kisi-kisi timur dinding Villa, aku mendengar suara kang Abas mengeluarkan kuda-kuda kami. Aku berteriak sekeras-kerasnya memanggil kang Abas dan kang Abas masuk dari pintu belakang yang kunci duplikatnya dia pegang. Kang Abas kami peluk dan kami ceritakan apa yang kami temukan.
Kang Abas langsung pucat pasih dan terbata-bata meminta maaf kepadaku. Dia meminta maaf karena sebelumnya tidak memberitahukan tentang sosok makhluk gaib itu kepadaku. Apalagi, saat kami menginap di bulan purnama ke 14. Sebab dia hanya muncul di bulan purnama 14 dan seharusnya, kata kang Abas, menghindari Villa di malam terang benderang itu.
“Karena ibu baru memiliki Villa ini, bila saya bercerita dan menyarankan jangan menginap di bulan purnama, takut ibu salah sangka kepada kami. Dengan bertemunya secara langsung dengan makhluk itu, barangkali ibu barulah percaya bahwa ada makhluk alam lain di sekitar hidup kita dan bisa maujud. Bukankah mantu saya Ujang sudah mengambarkan hal itu pada ibu?” lirih kang Abas.
Sejak itu, aku percaya adanya makhluk alam gaib yang sewaktu-waktu, bila tuhan berkehendak, maka makhluk itu akan muncul, makhluk itu akan menampakkan diri dan dilihat secara kasat mata. Kekokohan pendirian, kekuatan rasa ketidakpercayaanku, kini pudar sudah. Dan aku harus mengakuinya, bahwa mereka memang ada dan bisa kontak dengan kita yang hidup.
Hantu tanpa kepala itu adalah sosok arwah Richard William Hoower, pemilik Villa asal belanda yang mati dipotong leher oleh jawara Banteng. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1911, dua tahun setelah Sir Richard menempati rumah perkebunan teh itu. Richard yang duda tanpa anak, dibunuh dalam suatu perkelahian di kebun dengan mandor kebun pribumi yang diperlakukan dengan kasar olehnya.
Seminggu setelah jenazahnya dikirim ke Hilversum, Netherland, arwah Richard muncul dengan khasnya, mantel hitam dengan memegang kepalanya sendiri. Richard terus-terusan menampakkan diri setiap kali bulan purnama 14 di Villa Kenanga. “Hanya di malam itu dia muncul, malam lain tidak!” kata kang Abas.
Kenapa hanya di bulan purnama 14 arwah Richard maujud, dikatakan oleh kang Abas, bahwa pembunuhan terhadap bangsa belanda itu terjadi di malam bulan purnama ke 14, saat desa-desa di Cisarua begitu terang dan tenang. Ketenangan itu tiba-tiba gaduh karena pembunuhan mengerikan itu terjadi.
Jawara itu memotong kepala Richard hingga terlepas dari lehernya. Hingga sekarang, aku dan anak-anak tidak pernah lagi datang ke Villa untuk menginap. Kami hanya datang pagi dan pulang sore hari. Walau bukan di bulan purnama ke 14, kami tetap tidak berani bersantai di Villa itu. Tempat itu hanya kami jadikan berkebunan dan tempat singgah di siang hari bila ke Puncak. Sedang untuk menginap, kami memilih hotel yang aman dari hantu-hantu.
Oleh: Keneldi